Meliat dari sisi lain , Betapa kerasnya kehidupan nelayan Di Banten
Meliat dari sisi lain , Betapa kerasnya kehidupan nelayan Di Banten sedang mendarat dari menjaring ikan di laut.
Pemandangan di seputar tempat tinggal paman begitu indah. Kebetulan rumahnya berada persis di bibir pantai, sehingga kita bisa melihat indahnya buih lautan yang menari-nari di atas pasir putih. Jalan yang ada di depan rumah paman merupakan akses menuju lokasi wisata Tanjung Lesung, sehingga tidak heran kalau selalu ramai dengan wisatawan yang datang berkunjung, terutama ketika mendekati hari libur. Sudah cukup lama saya tidak datang ke rumah paman. Dulu rumahnya agak jauh dari pantai, jaraknya sekira 150 m, dekat dengan lahan pertaniannya. Sekarang rumahnya pindah ke pinggir jalan, sambil usaha membuka warung kopi dan makanan. Dia bersyukur dagangannya laris, sehingga rezekinya semakin bertambah. Banyak wisatawan yang mampir ke warungnya. Mereka biasanya minum kopi dan mencicipi cemilan, sambil menikmati pemandangan laut dari belakang rumah paman.
Mengintip Kehidupan Nelayan Kecil
Pagi hari, ketika saya baru bangun tidur, sudah disuguhi minuman teh hangat dan kue kampung untuk sarapan pagi. Sebelum mencicipinya, saya sempatkan dulu ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sekalian berwudhu untuk persiapan melaksanakan sholat Shubuh.
Rupanya paman sudah tak sabar menunggu saya untuk mengobrol, sekedar melepas rindu. Kami mengobrol di belakang rumah paman dengan penuh keakraban. Sesekali tawa kami menggema keras, menyaingi gemuruh ombak di lautan.
Bangunan rumah paman berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu yang dikombinasikan dengan geribik - dinding yang terbuat dari bahan anyaman pohon bambu. Pada bagian belakang rumahnya sengaja dibiarkan terbuka, tanpa pintu dan hanya dibuatkan dinding ukuran satu meter, sehingga kita bisa duduk di sana sambil melihat pemandangan laut lepas yang begitu indah. Kerap kali terdengar deru ombak, bagaikan irama musik yang terus mengiringi perbincangan kami berdua.
Sambil bercerita, mata saya mencuri pandang ke hamparan laut. Beberapa nelayan tampak mulai merapat ke tepi pantai sambil membawa hasil tangkapan mereka. Rupanya mereka baru saya pulang melaut mencari nafkah buat keluarganya Tiba-tiba tebersit dalam pikiran saya untuk meliput aktivitas keseharian mereka. Saya pun minta izin ke paman untuk beranjak dari tempat duduk dan ingin melihat mereka dari dekat.
Sekelompok nelayan baru saja mendarat dari menangkap ikan di laut .Seorang anak sedang membantu ayahnya mengambil ikan di jaring. Seorang nelayan tampak bangga menunjukkan ikan hasil tangkapannya hari ini.Saya menghampiri para nelayan satu persatu dan memperhatikan kegiatan mereka. Beberapa anak kecil dan ibu-ibu terlihat ikut membantu para nelayan melepaskan tangkapannya. Perahu nelayan yang merapat ke darat pagi ini berjumlah sekira 10 buah. Wajah nelayan itu terlihat letih setelah seharian bekerja di tengah laut. Meskipun hasilnya tidak terlalu menggembirakan, tetapi mereka tetap bersyukur karena masih ada yang bisa dijual untuk menghidupi keluarganya.
Ibu-ibu dan anak-anak juga turut membantu nelayan memisahkan ikan dari jaring. Kepiting rajungan, salah satu tangkapan primadona nelayan Citeurup.Ikan dan kepiting hasil tangkapan nelayan.
Kehidupan Nelayan Ternyata Cukup Memprihatinkan
Saya tidak menduga ternyata kehidupan para nelayan jauh dari apa yang saya bayangkan. Menurut Hasanudin – salah seorang nelayan asli penduduk setempat, mereka biasanya berangkat memasang jaring ke tengah laut pada sore hari, sekira pukul 15 WIB-16.00 WIB.
Satu perahu nelayan biasanya diisi 2-3 orang. Mereka memasang jaring ke tengah laut yang berjaarak sekira 3-5 km dari bibir pantai. Waktu yang mereka butuhkan untuk memasangnya sekira 1 – 1 ½ jam. Setiap jaring nelayan diberi pelampung dan bendera kecil untuk menandakan siapa pemiliknya. Lebar jaring sekira 1 m-1,5 m dan panjangnya lebih dari 100 m.
Setelah dipasang semalaman, esok pagi harinya para nelayan beramai-ramai ke laut untuk mengambil hasil tangkapannya. Kalau ombak sedang besar, biasanya hasil tangkapannya relatif banyak, tetapi kalau ombak kecil, hasil tangkapan mereka pun berkurang. Bahkan jika musim angin barat, mereka tidak bisa melaut sehingga tidak mendapat penghasilan. Mereka terpaksa berhutang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kalau sedang sepi, sehari kami bisa mendapat ikan sekitar 3 kg. Kalau sedang ramai, bisa mencapai 10 kg sampai 15 kg. Hasilnya kami jual kepada tengkulak dengan harga Rp24.000 per kg. Khusus rajungan (sejenis kepiting laut) harganya Rp28.000 per kg, tetapi kalau sudah dijual ke pasar harganya bisa mencapai Rp50.000” ujar Hasanudin menjelaskan.
Tidak Ada biaya Untuk Membeli Perahu Baru
Menurut, Eko – salah seorang nelayan Citeureup lainnya, kehidupan mereka sangat berat. Bisa dibayangkan kalau pendapatan dari hasil melaut cuma 3 kg, hasilnya terlalu minim, sebab bahan bakar untuk sekali melaut saja sekira 3 liter bensin. Jika pendapatannya 3 kg sehari X harga jual @ Rp24.000, maka penghasilan kotor nelayan adalah sebesar Rp.72.000. Jika harga beli bensin sebesar @ Rp9.000 per liter, maka pengeluarannya adalah 3 X Rp9.000 =Rp27.000. Penghasilan kotor mereka adalah Rp72.000-Rp27.000=Rp45.000 perhari. Itu belum dipotong dengan biaya kebutuhan sehari-hari. Lantas bagaimana mereka harus menyisihkan uang untuk membeli perahu motor baru?
“Harga pembuatan sebuah perahu motor ukuran kecil berkisar antara 7-10 juta rupiah. Biasanya kekuatan perahu hanya bertahan sampai 3 tahun. Maklum bahan bakunya bukan berasal dari kayu kualitas baik.
Perahu motor “Jukung” nelayan Citeureup, Banten . Bahan baku utama membuat Jukung – sebutan perahu motor nelayan di Citeurup, yang baik adalah kayu bungur, jati, atau kecapi. Namun kalau mau menekan harga, mereka membuatnya dari kayu randu (kapuk). Tentu saja kalau bahan bakunya jelek, perahu akan mudah lapuk dan rusak. Kalau sudah rusak, terpaksa harus membuat perahu yang baru
“Di sini banyak perahu rusak yang dibiarkan begitu saja, karena kerusakannya cukup parah dan tidak bisa diperbaiki lagi,” ujar Eko, sambil menunjuk ke arah setumpukan perahu bekas yang sudah menjadi bangkai.
Ketika saya singgung apakah pernah ada bantuan dari pemerintah untuk nelayan? Salah seorang nelayan menjawab bahwa dulu memang pernah ada bantuan perahu untuk nelayan dari pemerintah, tetapi cuma satu. Itu pun diperuntukkan bagi sekelompok nelayan, bukan perorangan. Jadi mereka harus pintar-pintar berusaha sendiri mencari uang untuk membeli perahu baru. Biasanya mereka berhutang dan membayarnya secara mencicil daari hasil tangkapan mereka sehari-hari.
Semilir angin kian berhembus dan sinar mentari semakin tinggi. Para nelayan masih asik dengan pekerjaan rutinnya memisahkan ikan hasil tangkapannya dan membersihkan jaringnya. Mereka masih terjebak dengan rutinitasnya, ingin mengubah nasib yang ternyata belum berpihak padanya. Sementara kita cuma cukup menukar selembar uang kertas untuk bisa menikmati ikan hasil tangkapan mereka yang di dapat dengan keringat dan air mata.
*****
*****
Posting Komentar